1. Pendahuluan
Menurut Rost (2009), saat ini lebih dari 8000 km3/tahun
air dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan pangan dunia (dalam bentuk
evapotranspirasi, baik dari lahan tadah hujan maupun lahan beririgasi). Skenario
IPCC's SRES (Intergovernmental Panel on Climate Change - Special Report on
Emissions Scenarios) menyebutkan, tambahan air sebanyak 5000 km3/tahun
diperlukan jika populasi meningkat menjadi 10 miliar pada tahun 2050. Di
samping itu, luas lahan pertanian saat ini yang sebesar 15 juta km2 (sekitar 10% permukaan bumi) dianggap
tidak akan mampu lagi mencukupi kebutuhan pangan. Masih menurut IPCC, keadaan
ini berimplikasi pada diperlukannya ekspansi lahan sebesar 10 juta km2 yang pada akhirnya diikuti oleh
peningkatan kebutuhan air yang sangat signifikan. Lalu dari mana air tersebut
akan diperoleh? Jawaban singkatnya adalah dari sumber-sumber air, sungai,
danau, dan air tanah (groundwater).
Paradigma lama pengelolaan air hanya mempertimbangkan blue
water (debit
air sungai, danau dan air tanah). Umumnya dipahami bahwa
penghematan air berarti menghemat penggunaan air yang diperoleh dari
sumber-sumber tersebut sehingga menghemat pengambilan blue water.
Penghematan air untuk keperluan domestik (rumah tangga) antara lain dilakukan
dengan mengurangi penggunaan air yang tidak perlu. Namun, ketika berbicara
masalah penyediaan pangan, tambahan air sebanyak 5000 km3/tahun mau
tidak mau harus disediakan. Ini berarti eksplorasi besar-besaran terhadap blue
water. Akan
tetapi, untuk berbagai daerah yang mengalami masalah kelangkaan air (water scarcity),
peningkatan konsumsi air bukan solusi sehingga diperlukan perubahan pola
penggunaan air. Dengan hanya mempertimbangkan blue water, kita akan
gagal dalam memecahkan masalah kelangkaan air untuk pertanian.
Tulisan ini akan membahas pentingnya mengintensifkan
pengelolaan air untuk pertanian dengan mempertimbangkan green
water. Selain itu perlunya diterapkan metode-metode baru dalam
upaya konservasi green water serta penerapan teknologi
Sistem Informasi Geografis dan pengindraan jauh (remote sensing) sebagai alat bantu
pengelolaan sumber daya air.
2. Green Water: Paradigma Baru
Paradigma baru dalam pengelolaan air pertanian memasukkan green
water sebagai
komponen penting dalam analisis. Green wateradalah air yang
terdapat dalam zona tidak jenuh dalam tanah (unsaturated zone), yaitu di daerah
perakaran tanaman hingga zona air tanah jenuh (saturated zone). Green
water terkumpul
karena hujan yang jatuh ke permukaan tanah dan mengalami infiltrasi ke bawah
permukaan. Namun, green water juga menguap melalui proses
evaporasi (langsung dari permukaan tanah) atau transpirasi (melalui tanaman).
Perhitungan Falkenmark dan Rockstrom (2006) menunjukkan bahwa
produksi pangan global memerlukan 6800 km3/tahun green
water(evaporasi dan transpirasi). Dari jumlah tersebut, 1800 km3/tahun
diperoleh dari blue water dengan cara irigasi dari
sungai, danau, atau air tanah. Umumnya, perencana irigasi mempertimbangkan blue
water sebagai
total air yang dipergunakan dalam pertanian, meskipun pada kenyataannya porsi
terbesar penggunaan air disuplai oleh green water.
Dengan demikian pengelolaan air untuk pertanian yang
memasukkan pengelolaan green water menjadi sangat penting untuk
dilakukan. Studi yang dilakukan oleh Rockström et al. (2009) membuktikan bahwa
pengelolaan green water yang tepat akan menjadi basis
baru bagi revolusi hijau. Bahkan bisa menjadi basis bagi ketahanan terhadap
bencana yang disebabkan air, seperti banjir, kekeringan, dan musim kemarau yang
kini menjadi sulit diprediksi akibat perubahan iklim (climate change). Tanpa
peningkatan produktivitas air yang siginifikan dengan diiringi usaha-usaha lain
untuk meningkatkan hasil pertanian, penyediaan pangan penduduk dunia dapat
menjadi masalah serius di tahun-tahun mendatang. Demikian juga dengan adanya
wacana peningkatan produksi biofuel, pertanian kini berperan
tidak hanya untuk menyediakan pangan dan pakan tapi juga bahan bakar (food, feed, fuel). Air
untuk pertanian kini menjadi isu yang sangat penting.
Produktivitas air mengacu kepada berapa banyak panen yang
diproduksi untuk input air sejumlah tertentu. Dalam kegiatan pertanian, selain
berkaitan dengan air, konsep produktivitas juga berkaitan dengan pupuk, luas
lahan, dan tenaga kerja yang menjadi input. Dengan terminologi ini, peningkatan
produktivitas air bisa dilakukan dengan meningkatkan hasil panen atau melakukan
penghematan air.
Cara pertama, yakni meningkatkan hasil panen, sedang dan
terus dikembangkan oleh lembaga- lembaga riset bibit, baik di Indonesia
maupun di negara-negara lain, termasuk oleh IRRI (International Rice Research Institute). Prinsipnya
adalah peningkatan hasil dengan input air yang tetap sehingga meningkatkan
produktivitas air. Cara kedua adalah penghematan air. Hasil panen yang sama
jika diperoleh dengan input air yang lebih sedikit dari biasanya bisa dikatakan
meningkatkan produktivitas air. Hal ini dilakukan dengan menginventarisasi dan
memanfaatkan green water secara efektif.
3. Pertanian Padi Indonesia: Perspektif
Ketersediaan Air
Menurut FAO (1996),
meskipun terdapat lebih dari 10,000 spesies serealia, hanya beberapa spesies yang
secara luas dibudidayakan. Padi termasuk yang paling banyak digunakan dan
dikonsumsi hampir separuh penduduk dunia.
Indonesia mempunyai
curah hujan yang tergolong tinggi, rata-rata lebih dari 2000 mm/tahun. Curah
hujan itu bervariasi antara satu tempat dan tempat yang lainnya dari 500
mm/tahun hingga 7000 mm/tahun. Karena adanya musim hujan dan musim kemarau,
Indonesia mengenal perbedaan yang mencolok antara bulan basah (curah hujan di
atas 100 mm/bulan) dan bulan kering. Produktivitas lahan padi di Indonesia
adalah 4,4 ton/ha, menempati peringkat 29 dibandingkan dengan negara produsen
pangan lain (FAO, 1993). Karena Indonesia hanya mengalami dua musim, dalam satu
tahun bisa dilakukan 2 hingga 3 kali tanam.
Sebagai
perbandingan, Jepang memiliki dengan curah hujan rata-rata 1718 mm/tahun, yang
dua per tiganya turun di musim tanam (Satoh, 2003). Meskipun Jepang menerima
hujan sepanjang tahun, dengan rata-rata 150 mm/bulan yang cukup untuk pertanian
padi, periode tanam hanya bisa dilakukan satu kali, yaitu pada musim panas
(Juli-September). Namun, produktivitas lahan di Jepang tinggi, yaitu 6,65
ton/ha (FAO, 1993) dengan luas lahan 1.953.000 ha (FAO, 2001, data tahun 1997).
Tabel 1. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi Indonesia (GKG)
Tahun
|
Luas Panen
(Juta ha) |
Produktivitas
(Ton/ha) |
Produksi
(Juta ton) |
Pertumbuhan
Produksi (%) |
1999
|
12,0
|
4,25
|
50,9
|
3,3
|
2000
|
11,8
|
4,40
|
51,9
|
2,0
|
2001
|
11,5
|
4,39
|
50,5
|
-2,8
|
2002
|
11,5
|
4,47
|
51,5
|
2,0
|
2003
|
11,5
|
4,54
|
52,1
|
0,7
|
2004*
|
11,8
|
4,53
|
53,7
|
|
Sumber : BPS,2004
Keterangan :* Angka Ramalan II, 2004
Keterangan :* Angka Ramalan II, 2004
Data pada Tabel 1
menunjukkan adanya peningkatan produktivitas padi di Indonesia yang terus
meningkat. Bahkan BPS meramalkan produksi padi (Gabah Kering Giling, GKG) pada
tahun 2009 sebesar 63,84 juta ton, meningkat 5,83 persen dibandingkan dengan
tahun 2008 (Kompas, 2009). Hal ini disebabkan oleh peningkatan luas panen
(karena berkurangnya kekeringan) yang menyumbang 4,18 persen dan kenaikan
produktivitas yang menyumbang 1,57 persen.
Meskipun demikian,
dalam perspektif ketersediaan air, pertanian padi di Indonesia belum bisa
dikatakan aman dari kekeringan selama produktivitas air belum meningkat. Dengan
adanya perubahan iklim, kejadian kekeringan akan sulit diprediksi sehingga
berpengaruh terhadap kesinambungan tingkat produksi padi saat ini.
Pertanian padi
memerlukan banyak air. Notohadiprawiro (2006) menyebutkan perkiraan kebutuhan
air per satu musim tanam 1744 mm pada musim hujan dan 1940 mm pada musim
kemarau di Indonesia.
Gambar 2
menunjukkan tipikal penggunaan air pada satu musim tanam padi, dengan asumsi
metode pengolahan sawah yang dilakukan adalah metode yang umum dikenal petani.
Walaupun secara umum Indonesia tidak termasuk wilayah miskin air, setiap tahun
Indonesia mengalami periode kekeringan pada musim kemarau. Periode kekeringan
ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan petani. Air menjadi barang langka
yang diperebutkan. Pada bulan Oktober 2009, 1000 hektar lahan padi di
Tasikmalaya dinyatakan gagal panen atau puso, dengan potensi kerugian mencapai
5000 ton (Pikiran Rakyat Online). Bulan Juli 2008, seluas 110 ribu hektar (ha)
areal tanaman padi di Jawa Barat terkena kekeringan, dan 40 ribu ha di
antaranya gagal panen akibat kemarau panjang (Media Indonesia Online).
Petani-petani yang tidak memiliki akses terhadap air, baik karena persaingan
maupun karena letaknya di ujung saluran irigasi merelakan sawahnya puso. Di
samping itu ada pula kasus premanisme air (Republika, 2008), yakni para pemilik
sawah besar membayar preman untuk menyedot air dari saluran irigasi dengan menggunakan
pompa. Tindakan ini merugikan banyak petani dan mengabaikan regulasi yang
dilakukan oleh instansi setempat. Kedua kasus ini merupakan contoh yang sangat
mungkin terjadi di daerah-daerah lain.
Gb. 2. Tipikal Penggunaan Air dalam Satu
Musim Tanam untuk Tanaman Padi di Indonesia.
(Disimpulkan dari Notohadiprawiro, (2006))
(Disimpulkan dari Notohadiprawiro, (2006))
Dari sudut pandang ketersediaan air, musim kemarau merupakan
kendala utama dalam peningkatan produksi padi di Indonesia .
3. Beberapa Tindakan untuk Menghemat Air
pada Pertanian
Melihat fase-fase yang dilewati dalam pertanian pada (Gambar
2), ada beberapa hal yang bisa dilakukan pada tiap fase untuk menghemat
penggunaan air. Pada setiap fase terbuka peluang terhadap efisiensi penggunaan
air, sejak penyiapan lahan hingga pertumbuhan tanaman.
Tindakan-tindakan tersebut di antaranya :
Mulching (penutupan dengan
mulsa). Dalam suatu lahan pertanian non-produktif, kehilangan air melalui
evapotranspirasi harus dicegah. Jika lahan itu muncul setelah dilakukan panen,
cara termudah adalah dengan membiarkan residu tanaman (batang, daun, jerami)
menutupi permukaan tanah hingga musim tanam berikutnya. Dengan demikian, air
tertahan di zona tidak jenuh dan tersedia untuk musim tanam berikutnya.
Metode Alternate Wetting and Drying (AWD). AWD menerapkan
penghematan air total pada setiap fase tanam mulai dari penyiapan lahan hingga
setelah panen. Metode ini efektif meningkatkan produktivitas air tanpa efek
negatif yang signifikan terhadap hasil panen (Cabangon (2001), Virk, et al.
(2004)). Pada metode AWD, air akan dialirkan ke sawah ketika dibutuhkan oleh
padi tanpa harus dilakukan penggenangan. Kemudian selama beberapa waktu
pengairan dihentikan hingga air di bawah permukaan surut pada kedalaman
tertentu. Beberapa penelitian telah dilakukan terhadap metode ini, di antaranya
mengenai pengaruhnya terhadap jumlah produksi, kualitas beras, efektivitas penggunaan
pupuk, dan aplikasi praktis di lapangan. Metode ini juga diterapkan dalam
System of Rice Intensification (SRI) yang sedang diuji efektivitasnya di
berbagai tempat di Indonesia .
Menurut Uphoff (2006), dibandingkan dengan metode
konvensional, kebutuhan air dapat berkurang 25–50% dengan metode ini.
Membuang Tanaman
Non-Produktif. Ketika musim kering datang di
tengah-tengah waktu tanam, petani akan mengelola sawahnya untuk mendapatkan air
yang cukup. Jarak sawah dari sungai atau saluran irigasi terdekat dan kontur
areal persawahan terkadang menjadi hambatan bagi petak- petak sawah tertentu
mendapatkan air yang cukup. Ketika jumlah air tidak mencukupi dan tanaman
menjadi tidak produktif, petani cenderung meninggalkan pengelolaan sawah.
Kenyataannya, akar tanaman akan terus menarik air dari subpermukaan dan
melepaskannya ke atmosfer melalui proses evapotranporasi. Proses ini akan
menyebabkan berkurangnya air di subpermukaan sebagai cadangan untuk masa tanam
berikutnya. Namun, membuang tanaman non-produktif membutuhkan tenaga ekstra
sehingga hampir tidak pernah dilakukan.
Pemeliharaan Saluran Irigasi. Dengan pertimbangan
yang sama seperti di atas, dengan membersihkan saluran irigasi dari tanaman
gulma, besar kehilangan air akibat transpirasi oleh tanaman gulma bisa
dikurangi.
Dari tindakan-tindakan di atas, mulching dan membuang tanaman
non-produktif berkaitan langsung dengan konservasi green
water. Pengelolaan green water yang tepat bisa mengurangi
input air yang ditarik dari blue water.
Untuk tanaman palawija, irigasi kendi adalah contoh teknologi
penghematan air di lahan kering yang bisa diterapkan di Indonesia .
Metode ini dikembangkan pada tahun 1996 oleh Budi Indra Setiawan. Uji coba
metode irigasi kendi telah beberapa kali dilakukan, salah satunya untuk
mengairi tanaman sayuran di daerah kering (Saleh dan Setiawan, 2001). Irigasi
kendi dibangun berdasarkan sistem osmosis, yaitu terjadinya aliran air dari
dalam kendi ke dinding kendi yang dibuat berpori dan mampu menghantarkan air
dengan kecepatan tertentu (porus), kemudian mengalir ke tanah sekitar perakaran
tanaman berdasarkan perbedaan potensial matriks antara tanah dan dinding kendi.
Untuk mempertahankan air dalam kendi tingginya konstan, digunakan prinsip
tabung mariotte sebagai kendali. Dengan irigasi kendi, pengambilan blue
water bisa
dikurangi secara signifikan.
4. Teknologi Sistem Informasi Geografis dan Pengindraan Jauh sebagai Alat
Bantu
Memperluas
perspektif pengelolaan air dari basis sawah menjadi basis Daerah Aliran Sungai
(DAS) sangat diperlukan. DAS dianggap sebagai suatu sistem dengan
komponen-komponen yang saling berkaitan dengan pengguna air sebagai
komponennya. Dengan cara ini, kebutuhan air dapat dipetakan berdasarkan
penggunaan lahan sehingga membantu membuat prioritas suplai air. Sistem
Informasi Geografis dapat diterapkan dalam pemetaan areal lahan dalam suatu DAS
dan membuat analisis untuk merumuskan strategi penghematan air.
Berkaitan dengan green water, teknologi
pengindraan jauh (remote
sensing) dapat digunakan untuk menganalisis kehilangan air karena
evaporasi dan transpirasi. Dengan melakukan klasifikasi terhadap gambar
satelit, lahan persawahan dapat dibagi menjadi sawah yang ditanami dan yang
tidak ditanami. Sedangkan daerah sawah yang ditanami dapat dibagi berdasarkan
fase pertumbuhannya. Kehilangan air pada masing-masing tutupan lahan dapat
dihitung dengan menggunakan algoritma-algoritma pendekatan yang sudah
dikembangkan oleh peneliti.
Informasi spasial yang diperoleh melalui analisis pengindraan
jauh dan Sistem Informasi Geografis bisa digunakan untuk menentukan strategi
penghematan air yang harus diterapkan di suatu DAS. Gambar 4 merupakan contoh
penerapan teknologi ini untuk menduga besarnya evapotranspirasi (ET) pada lahan
sawah di DAS Cidanau.
Jika ditinjau sebagai satu unit produksi, daerah aliran
sungai (DAS) pada akhirnya mampu menggunakan air yang sudah dihemat ini untuk
kepentingan industri atau domestik. Sebagai gambaran sederhana, bisa diambil
contoh DAS Cidanau (Provinsi Banten). Apabila lahan pertanian di hulu DAS bisa
menahan kehilangan air (karena evaporasi) sebesar 0,4 mm/hari, untuk luas DAS
sebesar 220 km2berarti mengurangi beban pemompaan blue
water sebesar
1 m3/detik. Air ini dapat dimanfaatkan untuk industri dan pemukiman
di daerah hilir. Lebih lanjut mengenai pemanfaatan
teknologi ini memerlukan pembahasan tersendiri dan tidak dicakup dalam tulisan
ini.
5. Penutup
Strategi
pengelolaan air yang memperhitungkan green water sangat tergantung pada lokasi
pertanian (site specific).
Karena berbicara mengenai berapa banyak air yang disimpan di zona tidak jenuh,
strategi ini memerlukan informasi mengenai sifat fisik partikel-partikel tanah
dalam mengikat air. Saat ini berbagai model matematika dikembangkan untuk menyimulasi
berbagi skenario dan mengaudit penggunaan air di pertanian. Model-model
tersebut mencoba mengintegrasikan bidang keilmuan yang berkaitan dengan
irigasi, yaitu bidang keilmuan di level makro (hidrologi daerah aliran sungai)
dan mikro (fisika tanah). Karena sifatnya yang site
specific, diperlukan alat bantu berupa sistem informasi geografis
(SIG). Riset mengenai hal ini masih terus dikembangkan. Para peneliti masih
terus mencoba skenario-skenario pengelolaan air dan mengembangkan teknologi-
teknologi yang dapat diterapkan di lapangan.
6. Daftar Pustaka
1.
Anonim. 2009. BPS: Tahun
Ini , Indonesia
Bakal Swasembada Beras. Kompas.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/11/02/1453239/BPS.Tahun.Ini..Indonesia.Bakal.Swase
mbada.Beras
2.
Anonim. 2008. Premanisme Air yang
Meresahkan Petani. Harian Republika Online http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=336591&kat_id=3.
3.
Anonim. 2008 Ratusan Ribu Hektare Sawah
di Jabar Kekeringan. Media Indonesia Online.http://www.mediaindonesia.com/read/2008/07/07/16681/123/101/Ratusan_Ribu_Hektare_Sawah_di_Jaba
r_Kekeringan.
4.
Anonim. 2009. 1.000 Hektare Tanaman Padi
Puso. Harian Pikiran Rakyat Online. http://www.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=news.detail&id=101835. Ardiansyah, Sho
Shiozawa, B.I. Setiawan. 2009. Evaluating on-Site and Satellite Remote Sensing
Methods on Evapotranspiration Estimation. In Proceeding of International Conference
on Promising Practices for The Development of Sustainable Paddy Fields, 7-9 October 2009, Bogor , Indonesia .
5.
Cabangon RJ, Castillo EG, Bao LX, Lu G, Wang GH, Cui YL,
Tuong TP, Bouman BAM, Li YH, Chen CD and Wang JZ. 2001. Impact of alternate
wetting and drying irrigation on rice growth and resource-use efficiency. In: R
Barker, R Loeve, YH Li, TP Tuong (eds.). Water-saving irrigation for rice. Proceedings
of the International Workshop, 23-25 March 2001, Wuhan , China .
IWMI, Colombo , Sri Lanka . p 55-79.
6.
Falkenmark, M., and J. Rockstrom. 2006. The New Blue and
Green Water Paradigm: Breaking New Ground for Water Resources Planning and
Management. Journal of Water Resources Planning
and Management 132,
no. 3 (May 0): 129-132. doi:10.1061/(ASCE)0733-9496(2006)132:3(129).
7.
FAO. 1993. Rice In human Nutrition. Food and Nutrition Series. FAO, Rome .
8.
FAO. 1996. Dimensions of Need : An Atlas of Food and
Agriculture, Food and Agriculture Organization of the United Nations. Available
online at:http://www.fao.org/docrep/u8480e /U8480E00.HTM [Accessed February 3, 2009].
9.
FAO. 2001. Crop Diversification in the Asia-Pacific Region.
FAO Regional Office for Asia and the Pacific, Bangkok .
10. Hendrayanto. 2004.
Watershed and Water Resources Management in Indonesia
: An Overview of Forest Degradation and
Present Situation of Water Resources Supply and Efficient Utilization for Human
Survival and Bioproduction. In Tsukuba Asian Seminar on
Agricultural Education .
Tsukuba , Japan .
11. IPCC. 2000. IPCC
Special Report on Emissions Scenarios (SRES), Summary for Policymakers. Cambridge University Press
12. Notohadiprawiro, T. 2006. Rasionalisasi Penggunaan Sumberdaya Air di
Indonesia. Ilmu Tanah, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta .
13. Rockström, Johan,
Malin Falkenmark, Louise Karlberg, Holger Hoff, Stefanie Rost, and Dieter
Gerten. 2009. Future water availability for global food production: The
potential of green water for increasing resilience to global change. Water Resources Research 45 (2). doi:10.1029/2007WR006767. http://www.alphagalileo.org/ViewItem.aspx?ItemId=57418&CultureCode=en.
14. Rost, Stefanie, Dieter Gerten, Holger Hoff, Wolfgang Lucht, Malin
Falkenmark, and Johan Rockstrom. 2009. Global Potential to Increase Crop production through
Water management in Rainfed Agriculture. Environmental Research Letters 4, no. 4: 044002.
15. Saleh, Edward, and Budi I.
Setiawan. 2001. Distribution and Profile of Soil Moisture on "Kendi"
Irrigation Method for Vegetable in Dry Area. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia 3, no. 2: 94-98.
16. Satoh, Masayoshi.
2003. Demand and Allocation of Water Resource in Japan . In Tsukuba
Asian Seminar on Agricultural Education (TASAE).
Tsukuba , Japan .
17. Uphoff, N.T. 2006.
Increasing Water Savings while Raising Rice Yields with the System of Rice
Intensification (SRI). Panel on Water Productivity - The 2nd
International Rice Congress ,
9-13 October, New Delhi .
18. Virk, Parminder, Sant
S. Virman, V. Lopena, and R. Cabangon. 2004. Enhancing Water Productivity in
Irrigated Rice. In Proceeding of The 4th International
Crop Science Congress. The Regional Institute Ltd.
0 komentar:
إرسال تعليق