Labels

entri terbaru

2013-01-28

BLUE WATER DAN GREEN WATER UNTUK PERTANIAN

1. Pendahuluan

Menurut Rost (2009), saat ini lebih dari 8000 km3/tahun air dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan pangan dunia (dalam bentuk evapotranspirasi, baik dari lahan tadah hujan maupun lahan beririgasi). Skenario IPCC's SRES (Intergovernmental Panel on Climate Change - Special Report on Emissions Scenarios) menyebutkan, tambahan air sebanyak 5000 km3/tahun diperlukan jika populasi meningkat menjadi 10 miliar pada tahun 2050. Di samping itu, luas lahan pertanian saat ini yang sebesar 15 juta km2 (sekitar 10% permukaan bumi) dianggap tidak akan mampu lagi mencukupi kebutuhan pangan. Masih menurut IPCC, keadaan ini berimplikasi pada diperlukannya ekspansi lahan sebesar 10 juta km2 yang pada akhirnya diikuti oleh peningkatan kebutuhan air yang sangat signifikan. Lalu dari mana air tersebut akan diperoleh? Jawaban singkatnya adalah dari sumber-sumber air, sungai, danau, dan air tanah (groundwater).

Paradigma lama pengelolaan air hanya mempertimbangkan blue water (debit air sungai, danau dan air tanah). Umumnya dipahami bahwa penghematan air berarti menghemat penggunaan air yang diperoleh dari sumber-sumber tersebut sehingga menghemat pengambilan blue water. Penghematan air untuk keperluan domestik (rumah tangga) antara lain dilakukan dengan mengurangi penggunaan air yang tidak perlu. Namun, ketika berbicara masalah penyediaan pangan, tambahan air sebanyak 5000 km3/tahun mau tidak mau harus disediakan. Ini berarti eksplorasi besar-besaran terhadap blue water. Akan tetapi, untuk berbagai daerah yang mengalami masalah kelangkaan air (water scarcity), peningkatan konsumsi air bukan solusi sehingga diperlukan perubahan pola penggunaan air. Dengan hanya mempertimbangkan blue water, kita akan gagal dalam memecahkan masalah kelangkaan air untuk pertanian.

Tulisan ini akan membahas pentingnya mengintensifkan pengelolaan air untuk pertanian dengan mempertimbangkan green water. Selain itu perlunya diterapkan metode-metode baru dalam upaya konservasi green water serta penerapan teknologi Sistem Informasi Geografis dan pengindraan jauh (remote sensing) sebagai alat bantu pengelolaan sumber daya air.

2. Green Water: Paradigma Baru

Paradigma baru dalam pengelolaan air pertanian memasukkan green water sebagai komponen penting dalam analisis. Green wateradalah air yang terdapat dalam zona tidak jenuh dalam tanah (unsaturated zone), yaitu di daerah perakaran tanaman hingga zona air tanah jenuh (saturated zone). Green water terkumpul karena hujan yang jatuh ke permukaan tanah dan mengalami infiltrasi ke bawah permukaan. Namun, green water juga menguap melalui proses evaporasi (langsung dari permukaan tanah) atau transpirasi (melalui tanaman).

Perhitungan Falkenmark dan Rockstrom (2006) menunjukkan bahwa produksi pangan global memerlukan 6800 km3/tahun green water(evaporasi dan transpirasi). Dari jumlah tersebut, 1800 km3/tahun diperoleh dari blue water dengan cara irigasi dari sungai, danau, atau air tanah. Umumnya, perencana irigasi mempertimbangkan blue water sebagai total air yang dipergunakan dalam pertanian, meskipun pada kenyataannya porsi terbesar penggunaan air disuplai oleh green water.

Dengan demikian pengelolaan air untuk pertanian yang memasukkan pengelolaan green water menjadi sangat penting untuk dilakukan. Studi yang dilakukan oleh Rockström et al. (2009) membuktikan bahwa pengelolaan green water yang tepat akan menjadi basis baru bagi revolusi hijau. Bahkan bisa menjadi basis bagi ketahanan terhadap bencana yang disebabkan air, seperti banjir, kekeringan, dan musim kemarau yang kini menjadi sulit diprediksi akibat perubahan iklim (climate change). Tanpa peningkatan produktivitas air yang siginifikan dengan diiringi usaha-usaha lain untuk meningkatkan hasil pertanian, penyediaan pangan penduduk dunia dapat menjadi masalah serius di tahun-tahun mendatang. Demikian juga dengan adanya wacana peningkatan produksi biofuel, pertanian kini berperan tidak hanya untuk menyediakan pangan dan pakan tapi juga bahan bakar (food, feed, fuel). Air untuk pertanian kini menjadi isu yang sangat penting.

Produktivitas air mengacu kepada berapa banyak panen yang diproduksi untuk input air sejumlah tertentu. Dalam kegiatan pertanian, selain berkaitan dengan air, konsep produktivitas juga berkaitan dengan pupuk, luas lahan, dan tenaga kerja yang menjadi input. Dengan terminologi ini, peningkatan produktivitas air bisa dilakukan dengan meningkatkan hasil panen atau melakukan penghematan air.

Cara pertama, yakni meningkatkan hasil panen, sedang dan terus dikembangkan oleh lembaga- lembaga riset bibit, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain, termasuk oleh IRRI (International Rice Research Institute). Prinsipnya adalah peningkatan hasil dengan input air yang tetap sehingga meningkatkan produktivitas air. Cara kedua adalah penghematan air. Hasil panen yang sama jika diperoleh dengan input air yang lebih sedikit dari biasanya bisa dikatakan meningkatkan produktivitas air. Hal ini dilakukan dengan menginventarisasi dan memanfaatkan green water secara efektif.

3. Pertanian Padi Indonesia: Perspektif Ketersediaan Air

Menurut FAO (1996), meskipun terdapat lebih dari 10,000 spesies serealia, hanya beberapa spesies yang secara luas dibudidayakan. Padi termasuk yang paling banyak digunakan dan dikonsumsi hampir separuh penduduk dunia.

Indonesia mempunyai curah hujan yang tergolong tinggi, rata-rata lebih dari 2000 mm/tahun. Curah hujan itu bervariasi antara satu tempat dan tempat yang lainnya dari 500 mm/tahun hingga 7000 mm/tahun. Karena adanya musim hujan dan musim kemarau, Indonesia mengenal perbedaan yang mencolok antara bulan basah (curah hujan di atas 100 mm/bulan) dan bulan kering. Produktivitas lahan padi di Indonesia adalah 4,4 ton/ha, menempati peringkat 29 dibandingkan dengan negara produsen pangan lain (FAO, 1993). Karena Indonesia hanya mengalami dua musim, dalam satu tahun bisa dilakukan 2 hingga 3 kali tanam.

Sebagai perbandingan, Jepang memiliki dengan curah hujan rata-rata 1718 mm/tahun, yang dua per tiganya turun di musim tanam (Satoh, 2003). Meskipun Jepang menerima hujan sepanjang tahun, dengan rata-rata 150 mm/bulan yang cukup untuk pertanian padi, periode tanam hanya bisa dilakukan satu kali, yaitu pada musim panas (Juli-September). Namun, produktivitas lahan di Jepang tinggi, yaitu 6,65 ton/ha (FAO, 1993) dengan luas lahan 1.953.000 ha (FAO, 2001, data tahun 1997).

Tabel 1. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi Indonesia (GKG)

Tahun
Luas Panen
(Juta ha)
Produktivitas
(Ton/ha)
Produksi
(Juta ton)
Pertumbuhan
Produksi (%)
1999
12,0
4,25
50,9
3,3
2000
11,8
4,40
51,9
2,0
2001
11,5
4,39
50,5
-2,8
2002
11,5
4,47
51,5
2,0
2003
11,5
4,54
52,1
0,7
2004*
11,8
4,53
53,7
 

Sumber : BPS,2004
Keterangan :* Angka Ramalan II, 2004

Data pada Tabel 1 menunjukkan adanya peningkatan produktivitas padi di Indonesia yang terus meningkat. Bahkan BPS meramalkan produksi padi (Gabah Kering Giling, GKG) pada tahun 2009 sebesar 63,84 juta ton, meningkat 5,83 persen dibandingkan dengan tahun 2008 (Kompas, 2009). Hal ini disebabkan oleh peningkatan luas panen (karena berkurangnya kekeringan) yang menyumbang 4,18 persen dan kenaikan produktivitas yang menyumbang 1,57 persen.

Meskipun demikian, dalam perspektif ketersediaan air, pertanian padi di Indonesia belum bisa dikatakan aman dari kekeringan selama produktivitas air belum meningkat. Dengan adanya perubahan iklim, kejadian kekeringan akan sulit diprediksi sehingga berpengaruh terhadap kesinambungan tingkat produksi padi saat ini.

Pertanian padi memerlukan banyak air. Notohadiprawiro (2006) menyebutkan perkiraan kebutuhan air per satu musim tanam 1744 mm pada musim hujan dan 1940 mm pada musim kemarau di Indonesia.

Gambar 2 menunjukkan tipikal penggunaan air pada satu musim tanam padi, dengan asumsi metode pengolahan sawah yang dilakukan adalah metode yang umum dikenal petani. Walaupun secara umum Indonesia tidak termasuk wilayah miskin air, setiap tahun Indonesia mengalami periode kekeringan pada musim kemarau. Periode kekeringan ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan petani. Air menjadi barang langka yang diperebutkan. Pada bulan Oktober 2009, 1000 hektar lahan padi di Tasikmalaya dinyatakan gagal panen atau puso, dengan potensi kerugian mencapai 5000 ton (Pikiran Rakyat Online). Bulan Juli 2008, seluas 110 ribu hektar (ha) areal tanaman padi di Jawa Barat terkena kekeringan, dan 40 ribu ha di antaranya gagal panen akibat kemarau panjang (Media Indonesia Online). Petani-petani yang tidak memiliki akses terhadap air, baik karena persaingan maupun karena letaknya di ujung saluran irigasi merelakan sawahnya puso. Di samping itu ada pula kasus premanisme air (Republika, 2008), yakni para pemilik sawah besar membayar preman untuk menyedot air dari saluran irigasi dengan menggunakan pompa. Tindakan ini merugikan banyak petani dan mengabaikan regulasi yang dilakukan oleh instansi setempat. Kedua kasus ini merupakan contoh yang sangat mungkin terjadi di daerah-daerah lain.

Gb. 2. Tipikal Penggunaan Air dalam Satu Musim Tanam untuk Tanaman Padi di Indonesia.
(Disimpulkan dari Notohadiprawiro, (2006))

Dari sudut pandang ketersediaan air, musim kemarau merupakan kendala utama dalam peningkatan produksi padi di Indonesia.

3. Beberapa Tindakan untuk Menghemat Air pada Pertanian

Melihat fase-fase yang dilewati dalam pertanian pada (Gambar 2), ada beberapa hal yang bisa dilakukan pada tiap fase untuk menghemat penggunaan air. Pada setiap fase terbuka peluang terhadap efisiensi penggunaan air, sejak penyiapan lahan hingga pertumbuhan tanaman.

Tindakan-tindakan tersebut di antaranya :

Mulching (penutupan dengan mulsa). Dalam suatu lahan pertanian non-produktif, kehilangan air melalui evapotranspirasi harus dicegah. Jika lahan itu muncul setelah dilakukan panen, cara termudah adalah dengan membiarkan residu tanaman (batang, daun, jerami) menutupi permukaan tanah hingga musim tanam berikutnya. Dengan demikian, air tertahan di zona tidak jenuh dan tersedia untuk musim tanam berikutnya.

Metode Alternate Wetting and Drying (AWD). AWD menerapkan penghematan air total pada setiap fase tanam mulai dari penyiapan lahan hingga setelah panen. Metode ini efektif meningkatkan produktivitas air tanpa efek negatif yang signifikan terhadap hasil panen (Cabangon (2001), Virk, et al. (2004)). Pada metode AWD, air akan dialirkan ke sawah ketika dibutuhkan oleh padi tanpa harus dilakukan penggenangan. Kemudian selama beberapa waktu pengairan dihentikan hingga air di bawah permukaan surut pada kedalaman tertentu. Beberapa penelitian telah dilakukan terhadap metode ini, di antaranya mengenai pengaruhnya terhadap jumlah produksi, kualitas beras, efektivitas penggunaan pupuk, dan aplikasi praktis di lapangan. Metode ini juga diterapkan dalam System of Rice Intensification (SRI) yang sedang diuji efektivitasnya di berbagai tempat di Indonesia. Menurut Uphoff (2006), dibandingkan dengan metode konvensional, kebutuhan air dapat berkurang 25–50% dengan metode ini.

Membuang Tanaman Non-Produktif. Ketika musim kering datang di tengah-tengah waktu tanam, petani akan mengelola sawahnya untuk mendapatkan air yang cukup. Jarak sawah dari sungai atau saluran irigasi terdekat dan kontur areal persawahan terkadang menjadi hambatan bagi petak- petak sawah tertentu mendapatkan air yang cukup. Ketika jumlah air tidak mencukupi dan tanaman menjadi tidak produktif, petani cenderung meninggalkan pengelolaan sawah. Kenyataannya, akar tanaman akan terus menarik air dari subpermukaan dan melepaskannya ke atmosfer melalui proses evapotranporasi. Proses ini akan menyebabkan berkurangnya air di subpermukaan sebagai cadangan untuk masa tanam berikutnya. Namun, membuang tanaman non-produktif membutuhkan tenaga ekstra sehingga hampir tidak pernah dilakukan.

Pemeliharaan Saluran Irigasi. Dengan pertimbangan yang sama seperti di atas, dengan membersihkan saluran irigasi dari tanaman gulma, besar kehilangan air akibat transpirasi oleh tanaman gulma bisa dikurangi.

Dari tindakan-tindakan di atas, mulching dan membuang tanaman non-produktif berkaitan langsung dengan konservasi green water. Pengelolaan green water yang tepat bisa mengurangi input air yang ditarik dari blue water.

Untuk tanaman palawija, irigasi kendi adalah contoh teknologi penghematan air di lahan kering yang bisa diterapkan di Indonesia. Metode ini dikembangkan pada tahun 1996 oleh Budi Indra Setiawan. Uji coba metode irigasi kendi telah beberapa kali dilakukan, salah satunya untuk mengairi tanaman sayuran di daerah kering (Saleh dan Setiawan, 2001). Irigasi kendi dibangun berdasarkan sistem osmosis, yaitu terjadinya aliran air dari dalam kendi ke dinding kendi yang dibuat berpori dan mampu menghantarkan air dengan kecepatan tertentu (porus), kemudian mengalir ke tanah sekitar perakaran tanaman berdasarkan perbedaan potensial matriks antara tanah dan dinding kendi. Untuk mempertahankan air dalam kendi tingginya konstan, digunakan prinsip tabung mariotte sebagai kendali. Dengan irigasi kendi, pengambilan blue water bisa dikurangi secara signifikan.

4. Teknologi Sistem Informasi Geografis dan Pengindraan Jauh sebagai Alat Bantu

Memperluas perspektif pengelolaan air dari basis sawah menjadi basis Daerah Aliran Sungai (DAS) sangat diperlukan. DAS dianggap sebagai suatu sistem dengan komponen-komponen yang saling berkaitan dengan pengguna air sebagai komponennya. Dengan cara ini, kebutuhan air dapat dipetakan berdasarkan penggunaan lahan sehingga membantu membuat prioritas suplai air. Sistem Informasi Geografis dapat diterapkan dalam pemetaan areal lahan dalam suatu DAS dan membuat analisis untuk merumuskan strategi penghematan air.

Berkaitan dengan green water, teknologi pengindraan jauh (remote sensing) dapat digunakan untuk menganalisis kehilangan air karena evaporasi dan transpirasi. Dengan melakukan klasifikasi terhadap gambar satelit, lahan persawahan dapat dibagi menjadi sawah yang ditanami dan yang tidak ditanami. Sedangkan daerah sawah yang ditanami dapat dibagi berdasarkan fase pertumbuhannya. Kehilangan air pada masing-masing tutupan lahan dapat dihitung dengan menggunakan algoritma-algoritma pendekatan yang sudah dikembangkan oleh peneliti.

Informasi spasial yang diperoleh melalui analisis pengindraan jauh dan Sistem Informasi Geografis bisa digunakan untuk menentukan strategi penghematan air yang harus diterapkan di suatu DAS. Gambar 4 merupakan contoh penerapan teknologi ini untuk menduga besarnya evapotranspirasi (ET) pada lahan sawah di DAS Cidanau.

Jika ditinjau sebagai satu unit produksi, daerah aliran sungai (DAS) pada akhirnya mampu menggunakan air yang sudah dihemat ini untuk kepentingan industri atau domestik. Sebagai gambaran sederhana, bisa diambil contoh DAS Cidanau (Provinsi Banten). Apabila lahan pertanian di hulu DAS bisa menahan kehilangan air (karena evaporasi) sebesar 0,4 mm/hari, untuk luas DAS sebesar 220 km2berarti mengurangi beban pemompaan blue water sebesar 1 m3/detik. Air ini dapat dimanfaatkan untuk industri dan pemukiman di daerah hilir. Lebih lanjut mengenai pemanfaatan teknologi ini memerlukan pembahasan tersendiri dan tidak dicakup dalam tulisan ini.

5. Penutup

Strategi pengelolaan air yang memperhitungkan green water sangat tergantung pada lokasi pertanian (site specific). Karena berbicara mengenai berapa banyak air yang disimpan di zona tidak jenuh, strategi ini memerlukan informasi mengenai sifat fisik partikel-partikel tanah dalam mengikat air. Saat ini berbagai model matematika dikembangkan untuk menyimulasi berbagi skenario dan mengaudit penggunaan air di pertanian. Model-model tersebut mencoba mengintegrasikan bidang keilmuan yang berkaitan dengan irigasi, yaitu bidang keilmuan di level makro (hidrologi daerah aliran sungai) dan mikro (fisika tanah). Karena sifatnya yang site specific, diperlukan alat bantu berupa sistem informasi geografis (SIG). Riset mengenai hal ini masih terus dikembangkan. Para peneliti masih terus mencoba skenario-skenario pengelolaan air dan mengembangkan teknologi- teknologi yang dapat diterapkan di lapangan.

6. Daftar Pustaka

1.    Anonim. 2009. BPS: Tahun Ini, Indonesia Bakal Swasembada Beras. Kompas. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/11/02/1453239/BPS.Tahun.Ini..Indonesia.Bakal.Swase mbada.Beras

2.    Anonim. 2008. Premanisme Air yang Meresahkan Petani. Harian Republika Online http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=336591&kat_id=3.

3.    Anonim. 2008 Ratusan Ribu Hektare Sawah di Jabar Kekeringan. Media Indonesia Online.http://www.mediaindonesia.com/read/2008/07/07/16681/123/101/Ratusan_Ribu_Hektare_Sawah_di_Jaba r_Kekeringan.

4.    Anonim. 2009. 1.000 Hektare Tanaman Padi Puso. Harian Pikiran Rakyat Online. http://www.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=news.detail&id=101835. Ardiansyah, Sho Shiozawa, B.I. Setiawan. 2009. Evaluating on-Site and Satellite Remote Sensing Methods on Evapotranspiration Estimation. In Proceeding of International Conference on Promising Practices for The Development of Sustainable Paddy Fields, 7-9 October 2009, Bogor, Indonesia.

5.    Cabangon RJ, Castillo EG, Bao LX, Lu G, Wang GH, Cui YL, Tuong TP, Bouman BAM, Li YH, Chen CD and Wang JZ. 2001. Impact of alternate wetting and drying irrigation on rice growth and resource-use efficiency. In: R Barker, R Loeve, YH Li, TP Tuong (eds.). Water-saving irrigation for rice. Proceedings of the International Workshop, 23-25 March 2001, Wuhan, China. IWMI, Colombo, Sri Lanka. p 55-79.

6.    Falkenmark, M., and J. Rockstrom. 2006. The New Blue and Green Water Paradigm: Breaking New Ground for Water Resources Planning and Management. Journal of Water Resources Planning and Management 132, no. 3 (May 0): 129-132. doi:10.1061/(ASCE)0733-9496(2006)132:3(129).

7.    FAO. 1993. Rice In human Nutrition. Food and Nutrition Series. FAO, Rome .

8.    FAO. 1996. Dimensions of Need : An Atlas of Food and Agriculture, Food and Agriculture Organization of the United Nations. Available online at:http://www.fao.org/docrep/u8480e /U8480E00.HTM [Accessed February 3, 2009].

9.    FAO. 2001. Crop Diversification in the Asia-Pacific Region. FAO Regional Office for Asia and the Pacific, Bangkok.

10. Hendrayanto. 2004. Watershed and Water Resources Management in Indonesia : An Overview of Forest Degradation and Present Situation of Water Resources Supply and Efficient Utilization for Human Survival and Bioproduction. In Tsukuba Asian Seminar on Agricultural Education . Tsukuba, Japan.

11. IPCC. 2000. IPCC Special Report on Emissions Scenarios (SRES), Summary for Policymakers. Cambridge University Press

12. Notohadiprawiro, T. 2006. Rasionalisasi Penggunaan Sumberdaya Air di Indonesia. Ilmu Tanah, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

13. Rockström, Johan, Malin Falkenmark, Louise Karlberg, Holger Hoff, Stefanie Rost, and Dieter Gerten. 2009. Future water availability for global food production: The potential of green water for increasing resilience to global change. Water Resources Research 45 (2). doi:10.1029/2007WR006767. http://www.alphagalileo.org/ViewItem.aspx?ItemId=57418&CultureCode=en.

14. Rost, Stefanie, Dieter Gerten, Holger Hoff, Wolfgang Lucht, Malin Falkenmark, and Johan Rockstrom. 2009. Global Potential to Increase Crop production through Water management in Rainfed Agriculture. Environmental Research Letters 4, no. 4: 044002.

15. Saleh, Edward, and Budi I. Setiawan. 2001. Distribution and Profile of Soil Moisture on "Kendi" Irrigation Method for Vegetable in Dry Area. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia 3, no. 2: 94-98.

16. Satoh, Masayoshi. 2003. Demand and Allocation of Water Resource in Japan. In Tsukuba Asian Seminar on Agricultural Education (TASAE). Tsukuba, Japan.

17. Uphoff, N.T. 2006. Increasing Water Savings while Raising Rice Yields with the System of Rice Intensification (SRI). Panel on Water Productivity - The 2nd International Rice Congress , 9-13 October, New Delhi.

18. Virk, Parminder, Sant S. Virman, V. Lopena, and R. Cabangon. 2004. Enhancing Water Productivity in Irrigated Rice. In Proceeding of The 4th International Crop Science Congress. The Regional Institute Ltd.

 

0 komentar:

إرسال تعليق